PELUKAN IBU
Basah seluruh tubuhnya
bukan karena hujan . Ibu tirinya suka memarahinya bila mendapati Udin
pulang terlambat ke rumah. Padahal Udin pulang sekolah langsung mengambil alat
pemulung yang selalu dia simpan di kantin sekolah.
“Bu titip ya alat ini,” seraya meletakkannya
di dekat dapur ibu Suryo yang sudah biasa dititipin Udin. Jadi terserah Udin
mau diletakkan dimana. Ibu Suryo sangat baik pada Udin karena dia kasihan sama
Udin yang selalu bekerja sepulang sekolah demi biaya sekolahnya. Maklum Udin
memiliki ayah yang bekerja serabutan kadang cukup untuk makan. Karena Udin
masih ingin terus sekolah jadi dia mencoba mencari biaya sekolah sendiri tanpa
tergantung dengan ayahnya. Ditambah lagi dia tinggal bersama dengan ibu tirinya
yang cerewet.
“Udin..ganti bajumu nanti masuk angin,” kata
ibu tiriku dengan lembut karena ada ayah di dekatnya.
“ Kenapa bajumu basah Udin?” tanya ayah dengan
penuh selidik.
“ Tadi Udin kehujanan Ayah.” Jawab Udin
sekenanya.
Udin tidak mau Ayah tahu kalau
dia suka ke tempat itu. Entah kenapa Ayah pulang lebih awal jadi Udin merasa
lega, tidak mungkin dia dimarahi oleh ibu tirinya. Bisa tidur dengan nyenyak
malam ini. Wajah rembulan tampak tersenyum melihat senyuman bahagia Udin yang
membayangkan sosok ibu kandungnya.
“Udin, Ibu sudah sering
peringatkan kamu untuk tidak terlambat pulang kerumah karena banyak pekerjaan
yang harus kamu kerjakan,” Ibu tiriku mengomel sepanjang pagi setelah Ayah
pergi bekerja.
“ Iya bu tapi kemarin Udin benar-benar tidak
bisa pulang cepat Bu,” Udin mencoba memberi penjelasan kepada Ibu tirinya.
Ibu tiri Udin terus saja mengomel tanpa jelas.
Mungkin begitulah perempuan yang terus saja merasa kekurangan. Yah memang
kurang ,hidup kami pas-pasan. Pas untuk makan.
“Bu, Udin berangkat sekolah dulu ya,” pamit
Udin kepada Ibunya walau begitu Udin masih hormat pada ibunya.
“ Iya hati-hati,cepat pulang,” kata Ibu
tirinya lagi.
Kadang Udin merasa rindu
sama ibunya yang sudah meninggal setahun yang lalu. Kalau sudah begitu Udin
suka berlama-lama di tepi pantai melihat air menelan ibunya bersama dengan
nelayan lainnya. Ibunya meninggal karena kecelakaan perahu nelayan yang sedang
mencari ikan. Ibu memang suka sekali melaut, kata Ibu dulu waktu kecil suka
diajak almarhum kakek melaut. Tapi naas bagi Ibu yang tidak bisa bertahan
menghadapi ombak yang menghantam perahunya bersama para nelayan termasuk paman
adik ibu juga meninggal di kecelakaan itu. Semenjak itu Ayah tidak berani lagi
untuk melaut bukan karena takut tapi perasaan bersalahnya pada Ibu yang tidak
melarangnya untuk terus melaut walau sudah ada Ayah yang mencari nafkah. Ayah
memberi kebebasan pada Ibu selagi Ibu senang melakukannya. Dan sudah menjadi
komitmen mereka untuk tidak saling melarang apapun pekerjaannya yang terpenting
halal. Dan sekarang Ibu tirinya boleh bekerja dengan seizinnya sebagai buruh
cuci tak apalah toh pekerjaannya hanya mencuci tidak begitu beresiko. Wajarlah Ayah
selalu menanyakan keberadaan ibu tiriku bila tidak ada di rumah. Lama aku
termenung di bibir pantai ini, Aku suka sekali bermain di pantai setelah aku memulung,
sekedar menyapa Ibu. Makanya sering basah bajuku kena air di pantai.
“Udin kau terlambat lagi
pulang, sudahlah nak jangan bersedih terus,” Ucap Ibu tiriku yang membuatku
terdiam.
Sejak kapan ibu tirinya
perhatian sama kesedihan dirinya.
“ Ibu sudah tahu apa yang kamu lakukan setelah
memulung,” Ibu tirinya tersenyum tulus.
“ Doakan saja ibumu
semoga tenang di alam sana,” Udin tertunduk tak berani menatap wajah ibu
tirinya yang semakin mendekat dan mengelus kepalanya. Udin lama tak merasakan
elusan tangan di kepalanya. Dan sekarang barulah dia mengerti bahwa Ibu tirinya
adalah Ibunya sekarang.
“ Terimakasih Bu,” Udin
menangis, tangisan pertamanya dalam setahun di dekapan ibu tirinya. Udin
berjanji untuk membahagiakan ayah dan ibu tirinya yang sekarang telah mengerti
apa yang dirasakan Udin, dekapan kasih dari seorang Ibu.
#20harimenulis#FLPJambi#Day9
Komentar
Posting Komentar